Sabtu, 21 Oktober 2023

Sabtu Terakhir di Bulan Mei 2006 Beribu Drama

Pagi itu hari Sabtu di Kota Wates, Kulon Progo, Yogyakarta cerah seperti biasa, tidak terlalu terang dan panas karena awan menyelimuti langit. Pagi itu pada awalnya tidak ada yang berbeda daripada pagi lainnya. Ku kira semuanya akan berjalan biasa saja.

Waktu itu aku masih duduk di kelas 3 SD. Kakak perempuanku yang bernama Mbak Reefa masih sekolah di MTs, sementara adik perempuanku Dek Zulfa namanya, masih sekolah di Taman Kanak-Kanak. Bapak masih bekerja di kantor Pengadilan Agama di Kab. Bantul, sedangkan kesibukan ibu saat itu masih sering mengantar adik ke TK naik sepeda onthel.

Hari itu tanggal 27 Mei tepat satu bulan setelah hari ulang tahunku. Pagi bangun tidur, aku tak mengira pagi itu akan menjadi pagi yang berbeda dari pagi biasanya dan juga hari yang sangat panjang dan melelahkan. Seperti biasa setelah bangun aku segera shalat lalu bersiap untuk mandi. Karena kamar mandi di rumah hanya ada satu maka harus bergantian menggunakannya. Waktu itu aku mandi setelah kakakku. Saat itu sekitar pukul enam kurang beberapa menit. Aku pun sudah masuk ke kamar mandi. Kemudian peristiwa besar itu dimulai. Mulanya aku merasakan seperti kehilangan keseimbangan seperti mau jatuh atau sedang naik ayunan. Namun aku tidak terlalu mempedulikannya karena kupikir ini masih pagi jadi mungkin masih sedikit ngantuk atau pusing.

Namun, beberapa detik kemudian hal yang jauh lebih buruk terjadi. Lantai yang kupijak berguncang hebat, suara gemuruh benda-benda yang bergerak seperti pintu, dan kaca jendela terdengar jelas. Nampak air di kolah atau bak mandi seperti di laut yang sedang diterjang angin kencang, melompat-lompat naik turun tumpah keluar. Aku pun menjadi panik dan takut. Kemudian aku berusaha mengambil handukku. Sudah berhasil kuraih tapi tidak bisa kutarik karena handuknya nyantol di paku karena paku masuk pas lubang di handuk. Karena ibuku terus memanggilku untuk keluar aku pun keluar tanpa pakaian lengkap :( Tak bisa lagi memikir rasa malu karena menyelamatkan kehidupan diri sendiri lebih utama saat itu. Sempat kulihat bapak menggendong adik dari dalam kamar dibawa keluar. Bingung, takut, panik, tak tahu mau lari ke mana. Bolak-balik beberapa kali. “Ini gempa, gempa besar”, pikirku.

Gempa yang hampir berkekuatan 6 skala richter mengguncang wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya selama hampir satu menit. Kemudian setelah gempa mereda, aku pun langsung kembali ke dalam rumah, sempat takut juga. Kulihat  rumah dan isinya masih utuh, bak mandi dipenuhi kotoran debu dan sarang laba-laba di permukaan airnya. Alhamdulillah rumah dan bangunan disekitarnya tidak ada yang rubuh dan semua selamat. Kemudian aku melanjutkan mandi. Setelah mandi aku pun kemudian mengenakan seragam sekolah kemudian sarapan. Makan pun juga agak tidak doyan karena masih ada rasa syok dengan kejadian barusan.

Beberapa saat setelah itu aktivitas berjalan normal kembali, yang sekolah pergi sekolah, dan yang bekerja pergi bekerja. Begitupun diriku. Aku pun berangkat ke sekolah yang letaknya tak jauh dari rumahku dengan menaiki sepeda merah (bukan sepeda partai) milikku. Sementara itu kakakku juga pergi ke sekolahnya dengan menaiki sepeda. Bapak pergi ke kantornya yang berada di Bantul dengan sepeda motor, ibu mengantar dan menunggui adik di TK. Sesampainya di sekolah, banyak yang bercerita mengenai kejadian gempa pagi tadi. Tapi tentu saja aku menyembunyikan pengalaman memalukan yang aku alami pagi ini. 

Waktu itu kelasku berada di lantai dua di pojok dekat tangga. Setelah beberapa lama berada di sekolah, kemudian nampak kulihat orang-orang berlarian ke luar kelas dan menuju halaman depan dengan suara-suara berisik dan juga ada yang panik. Katanya ada gempa susulan, namun aku tidak merasakannya. Tapi aku tetap ikut keluar. Kemudian akhirnya pihak sekolah mengambil langkah untuk memulangkan para siswa lebih cepat daripada jadwal biasanya karena kondisi tersebut. Aku pun kemudian balik ke kelas untuk mengambil tas dan langsung pulang ke rumah.

Sementara itu di TK, setelah terjadi gempa susulan muncul isu yang sangat tidak meresahkan. Isu tersebut berisi bahwa telah terjadi tsunami dan airnya telah sampai daerah Wirobrajan (Bantul). Lantas hal tersebut membuat banyak orang panik termasuk ibuku dan sekolah dilibubarkan karena juga masih teringat akan bencana gempa dan tsunami Aceh 2004 yang belum lama terjadi baru setahun lebih beberapa bulan yang lalu. Selain itu gempa pagi tadi juga cukup besar. Ibu kemudian menjemput Mbak Reefa di sekolahnya yang letaknya tidak jauh dari TK. Sampai di sana ternyata kegiatan belajar masih tetap berlangsung. Jadi ibu datang ke kelas kakakku dan menemui guru yang sedang mengajar.

“Ada apa bu?” tanya guru tersebut. 

“Saya mau menjemput anak saya”, jawab ibu. 

“Kenapa?”.

“Ada tsunami dari pantai sudah sampai daratan”.

“Lha, rumah saya kan dekat pantai 😱”, kata guru tersebut.

Guru itu pun kemudian ikut panik. Lantas gegerlah sekolah tersebut, dan siswanya pun ikut dipulangkan lebih awal dari biasanya.

Sementara itu sesampainya di rumah aku melihat belum ada orang, rumah masih tertutup. Aku pun takut untuk masuk sendirian. Kemudian dengan santainya sempat aku melihat ke arah langit, warnanya biru cerah indah dengan awan-awan putihnya. Udaranya pun masih sejuk karena masih pagi sekitar jam delapan pagi. Suasana di sekitar rumah saat itu nampak sepi sekali. Tak lama kemudian datanglah ibuku dan Mbak Ifah menaiki sepeda. Sementara adikku membonceng ibuku dengan nampak cemas. Kemudian ibu berkata ”Ada tsunami, ayo cepat pergi ke tempat simbah !”. Nenekku tinggal di Kaligintung, Girigondo, Kecamatan Temon, memang tempat tinggalnya dekat dengan Makam Girigondo dan perbukitan Menoreh tentunya daerahnya memiliki permukaan tanah yang lebih tinggi. Kesanalah kami akan pergi !!!

Mendengar kabar itu pun aku menjadi takut, panik dan khawatir. Kemudian aku sempat bertanya ”Dengan apa ke sananya?”. “Naik sepeda saja. Soalnya motornya dipakai bapak ke Bantul tadi. Mudah-mudahan bapak baik-baik saja”. Kemudian rumah pun dikunci. Si Hanif masih sempat muntah di depan pintu rumah, tapi dibiarkan saja karena sudah terburu-buru. Pada zaman itu baru bapak yang memiliki HP sementara kami yang lain belum punya HP sehingga tidak bisa saling menanyakan kabar.

Segera kami pergi meninggalkan rumah. Akhirnya perjalanan panjang pun dimulai. Kami pun harus pergi dari Wates ke Girigondo dengan mengayuh sepeda. Aku dan Mbak Ifah membawa sepeda sendiri. Sementara si Hanif yang masih kecil membonceng ibuku. Matahari pun bersinar terang. Nampaknya akan panas selama perjalanan. Dan benar saja, namun aku tak bisa memikirkan rasa panas dan lelah yang aku alami saat itu. Sepanjang perjalanan aku merasa cemas, takut, dan khawatir akan datangnya air pasang dari laut dan senantiasa memohon keselamatan kepada Allah swt. Sempat ku berpikir ”Akankah sawah-sawah, rumah-rumah yang kulihat sekarang ini masih akan ada atau dapat kulihat lagi? Akankah kami selamat jika memang ada tsunami, jika kami cuma naik sepeda”. Sepanjang perjalanan yang kulihat hanyalah persawahan, rel kereta api, langit biru, rumah-rumah penduduk dan juga permukaan aspal yang hitam. Jalanan yang kami lalui tidaklah ramai. Aku berada di baris terdepan sementara ibu dan kakakku di belakangku. Aku pun terus melihat ke depan sambil sekali-kali melihat ke belakang dan ke arah selatan yaitu arah laut.

Sudah cukup lama rasanya, namun perjalanan yang harus ditempuh masih jauh. Terus saja kukayuh sepedaku, tanpa mempedulikan rasa lelah dan haus. Rasanya ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Kulihat terus jalanan aspal di depanku, sempat kulihat seekor ular berwarna hitam dengan belang kuning menyeberangi jalan yang akan kulalui dan langsung menghilang begitu sampai di semak-semak seberang jalan. Kulihat juga beberapa orang sedang duduk santai di teras rumah mereka nampak tenang-tenang saja membuat diriku bermumam "Apakah mereka tidak tau apa yang terjadi?" Kami pun sempat berhenti sebentar untuk minum dan melanjutkan perjalanan kembali.

Akhirnya setelah perjalanan sekitar 8 km yang panjang dan melelahkan kami pun sampai di rumah nenek. Sesampainya di sana kami berhenti sebentar dan menitipkan sepeda lalu melanjutkan perjalanan ke rumah Budhe Ti dengan jalan kaki menaiki jalan menanjak tapi sudah di aspal. Rumahnya memang terletak di tempat yang lebih tinggi dan tidak terlalu jauh dari rumah nenek, sehingga kami pergi ke sana bersama dengan simbah atau nenekku.

Sesampainya di sana, kami lebih memilih untuk menggelar tikar dan duduk-duduk di luar rumah. Aku pun kemudian merasa lebih aman dan bisa menghela nafas. Namun, masih dapat kurasakan tiap ada gempa susulan yang terjadi membuat jantung berdegup lebih kencang. 

Beberapa jam kemudian datanglah bapak dengan motor suzuki hijaunya. Legalah aku melihat bapak baik-baik saja. Sudah sampai di kantor, sempat mengikuti arus orang-orang yang ketakutan akan tsunami, kemudian teringat akan rumah dan ada kecurigaan terhadap isu tsunami, akhirnya bapak memilih nekat untuk balik arah melawan arus dan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah karena tidak ada orang, cuma ada ada muntahan di depan pintu yang ditemukan kemudian bapak mencari kami ke sini. 

Ternyata tidak ada peristiwa apa-apa, semua baik-baik saja. “Tidak ada tsunami”. Kemudian bapak mengajakku pulang, tapi karena terlanjur ketakutan aku belum mau pulang. Hingga sore aku masih memilih duduk di luar rumah, kakiku mulai terasa sakit sejak siang tadi setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan itu. Kemudian bapak pun pulang ke rumah sore itu sendirian. Sementara aku, Mbak Ifah, Hanif, dan ibuku memilih untuk menginap di rumah Budhe Ti. Malam hari pun sempat mati lampu disertai hujan dengan petir dan ada juga gempa susulan. Perasaan takut akan gempa masih menghantui hingga aku dapat tertidur di malam yang gelap itu.

Keesokan harinya, pada hari Minggu, kami akhirnya pulang ke rumah dengan naik motor. Sementara sepeda kami akan diantarkan dengan mobil pamanku sore harinya. 

Gempa Sabtu pagi itu sendiri telah menelan lebih dari 5.000 korban jiwa dan meratakan banyak rumah dan bangunan lain terutama yang berada di dekat pusat gempa. Dampaknya cukup parah hingga jalanan ikut retak. Adapun mengenai isu tsunami memang tidak terjadi tapi menurut kesaksian beberapa orang memang sempat terjadi luapan air sungai.

Benar-benar akhir pekan yang melelahkan. Tapi, aku sangat bersyukur karena kami semua selamat, rumah masih berdiri, tidak terjadi hal yang lebih buruk daripada kejadian Sabtu pagi itu, dan semua baik-baik saja di sini. Hari-hari berikutnya pun sudah berjalan normal kembali, namun tetap ada rasa was-was terhadap gempa yang dapat terjadi kapan saja.

Ya Begitulah Indonesia di balik keindahan alamnya yang luar biasa menyimpan potensi bencana alam yang tidak biasa.

Cerpen di atas berdasarkan kisah nyata sebagai salah satu sudut pandang masyarakat terdampak Gempa Bantul 2006 dari luar daerah. Pelajaran lain dari kejadian ini adalah hoaks yang disebarkan secara massive menjadi lebih mudah dipercaya oleh orang-orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar